Arsip Festival Film Indonesia

Bustal Nawawi

25 Agustus 1945

Lahir di Maninjau. Pendidikan: Fakultas Publisistik Universitas Ibnu Chaldun (Sarjana Muda), Master of Business Administration (ISM-Amsterdam University), kursus kader karyawan film (PFN) dan Pendidikan Manajemen Multimedia (LPPM). Sebelum ke film sebagai pegawai negeri di Direktorat Film, Departemen Penerangan. Pengalaman lapangan yang pertama di film sebagai pimpinan produksi dalam Sendja Selalu Mendatang (1971) produksi PT. Cine Film.

 

Sejak tahun 1972 ia memutuskan untuk menjadi orang film, tahun 1975 menjadi pimpinan PT. Sinta Lesmana Film, yang mengkhususkan diri di bidang film non-cerita. Pernah menjadi pimpinan PT. Prasidi Teta Film (1984). Tahun 1982 ikut menyelesaikan Titian Serambut Dibelah Tujuh produksi KOFINA dan tahun 1985 juga ikut menyelesaikan Kejarlah Daku Kau Kutangkap. Tahun 1986 ia menjabat perancang produksi dan produser dalam Naga Bonar, yang memenangkan Piala Citra FFI 1987 untuk film terbaik, dll. Ia juga anggota KFT dan Association Independent Video and Film Makers (AIVF) New York.

1 Piala

    WP_Post Object ( [ID] => 7328 [post_author] => 3 [post_date] => 2020-12-22 14:51:26 [post_date_gmt] => 2020-12-22 14:51:26 [post_content] => Setelah meninggalnya istri tercinta, Hasyim, mantan sukarelawan Konfrontasi Indonesia Malaysia tahun 1965, memutuskan tidak menikah. Ia tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya yang juga menduda, dan dua cucunya: Salman dan Salina. Hidup di perbatasan Indonesia dan Malaysia merupakan persoalan tersendiri bagi mereka, karena keterbelakangan pembangunan dan ekonomi.   Astuti, guru sekolah dasar di kota, datang tanpa direncanakan. Ia mengajar di sekolah yang hampir rubuh karena setahun tidak berfungsi. Tak lama berselang datang pula dr. Anwar, dokter muda yang datang karena tidak mampu bersaing sebagai dokter profesional di kota.   Haris mencoba membujuk ayahnya untuk pindah ke Malaysia dengan alasan di sana lebih menjanjikan secara ekonomi dibandingkan tetap tinggal di wilayah Indonesia. Hasyim bersikeras tidak mau pindah. Baginya kesetiaan pada bangsa adalah harga mati.   Persoalan semakin meruncing ketika Hasyim tahu bahwa Haris ternyata sudah menikah dengan perempuan Malaysia dan bermaksud mengajak Salman dan Salina. Salman yang dekat dengan sang kakek memilih tetap tinggal di Indonesia.   Hasyim sakit. Dr Anwar berusaha memberikan perawatan dan obat yang lebih rutin. Namun, keterbatasan sarana dan obat, membuat kondisi Hasyim memburuk. Dr Anwar memutuskan untuk membawa Hasyim ke rumah sakit kota. Dengan uang hasil kerja Salman, Hasyim dibawa pakai perahu. Mereka berangkat ditemani oleh Astuti dan dr. Anwar. Di tengah perjalanan nyawa Hasyim tidak tertolong. Ia meninggal bersamaan dengan pekik dan sorak sorai Haris atas kemenangan kesebelasan Malaysia atas Indonesia. [post_title] => Tanah Surga... Katanya [post_excerpt] => [post_status] => publish [comment_status] => closed [ping_status] => closed [post_password] => [post_name] => tanah-surga-katanya [to_ping] => [pinged] => [post_modified] => 2020-12-22 17:41:45 [post_modified_gmt] => 2020-12-22 17:41:45 [post_content_filtered] => [post_parent] => 0 [guid] => https://arsip.festivalfilm.id/?post_type=film&p=7328 [menu_order] => 0 [post_type] => film [post_mime_type] => [comment_count] => 0 [filter] => raw )
  • 2012 Pemenang Film Terbaik Tanah Surga... Katanya